INJIL
.co
christian
online
Injil

Hermeneutik/Dalam Sejarah

Dari Injil

Langsung ke: navigasi, cari


Pengantar ke dalam Hermeneutik Alkitabiah

Prinsip-prinsip Penafsiran Alkitab yang Bertanggungjawab


Buku "Pengantar ke dalam Hermeneutik Alkitabiah" ini berisi prinsip-prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab. - YLSA -

Pengantar ke dalam
Hermeneutik Alkitabiah

Daftar Isi
Kata Pengantar

Bab I Pendahuluan
Bab II Alat-Alat Bantu Hermeneutik
Bab III Hermeneutik Dalam Sejarah
Bab IV Prinsip-Prinsip Hermeneutik
Bab V. Prinsip-Prinsip Umum
Bab VI Prinsip-Prinsip Khusus
Bab VII Pendekatan Hermeneutik
Bab VIII Penutup
Daftar Kepustakaan

Cetak halaman ini | Facebook | Twitter

Penyusun:

Dra. Yulia Oeniyati Buffet, M.Th.

Untuk penggandaan buku ini mohon kesediaannya meminta ijin kepada penyusun buku.

© Yulia Oeniyati Buffet

1997, 1999, 2001

Pengantar ke dalam Hermeneutik Alkitabiah; Prinsip-prinsip Penafsiran Yang Bertanggungjawab

E-mail: <yulia(at)in-christ.net>

Kotak Pos 25/SLONS

Surakarta, 57135



Pengantar ke dalam Hermeneutik Alkitabiah -- Bab III

Bab III

HERMENEUTIK DALAM SEJARAH

Kapan ilmu menafsir Alkitab mulai berkembang? Aliran-aliran penafsiran apa saja yang yang ada?

PERKEMBANGAN HERMENEUTIK DI KALANGAN ORANG YAHUDI

Ilmu Hermeneutik adalah ilmu yang cukup baru karena baru dikenal sekitar tahun 1567 AD. Namun demikian prinsip-prinsip Hermenutik sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Diaspora yaitu masa pembuangan bangsa Israel. Oleh karena itu untuk mempelajari sejarah Hermeneutik kita harus kembali paling tidak lima abad sebelum Kristus lahir.

A. Hermeneutik Yahudi

  1. PUSAT IBADAH YAHUDI. Sejarah Hermeneutik Yahudi sudah dimulai sejak jaman Ezra (457SM), pada waktu orang-orang Yahudi sedang berada di tanah pembuangan. Pusat ibadah orang Yahudi dahulu adalah Yerusalem dimana mereka beribadah dengan mempersembahkan korban di Bait Suci. Tetapi karena di tanah pembuangan mereka tidak mungkin beribadah ke Yerusalem, maka mereka menciptakan pusat ibadah baru, yaitu dengan menggiatkan kembali pengajaran dari Kitab-kitab Taurat. Pengajaran Taurat itu menjadi sumber penghiburan dan kekuatan yang sangat berharga untuk mempertahankan diri dari pengaruh kafir di tanah pembuangan.

    Usaha pertama yang dilakukan oleh Ezra dan kelompok para imam adalah menghilangkan gap bahasa yaitu dengan menterjemahkan Kitab-kitab Taurat itu ke dalam bahasa Aram, karena orang-orang Yahudi di pembuangan tidak lagi bisa berbahasa Ibrani. Usaha terjemahan ini dibarengi dengan suatu exposisi karena mereka juga harus menjelaskan isi kitab-kitab yang sudah mereka terjemahkan itu, khususnya tentang pelaksanaan hukum-hukum Taurat. Karena sumbangannya yang besar itulah Ezra disebut sebagai Bapak Hermeneutik Pertama. Ref.: Ezr 8:15-20 Ne 8:1-8 Ezr 8:15-20

  2. TEMPAT IBADAH SINAGOGE. Untuk menunjang pemulihan kembali pengajaran kitab-kitab Taurat, didirikanlah sinagoge di tanah pembuangan untuk menggantikan tempat ibadah Bait Suci (Yerusalem). Fungsi utama sinagoge adalah sebagai tempat orang-orang Yahudi berkumpul menaikkan doa-doa, membaca Taurat dan mempelajarinya dengan teliti, juga sekaligus menjadi tempat mereka memelihara tradisi Yahudi dan melakukan kegiatan sosial lainnya.

    Sinagoge Agung adalah kelompok para ahli-ahli Kitab jaman itu yang terdiri dari 120 anggota, dibentuk oleh Ezra sepulangnya mereka kembali ke Palestina. Tugas utama kelompok ini adalah menafsirkan kitab-kitab Taurat. {Ne 8:9-13} Oleh karena itu bisa dikatakan inilah sekolah menafsir yang pertama didirikan.

    Setelah semakin banyak orang-orang Yahudi akhirnya diijinkan pulang kembali ke tanah Palestina, tradisi mempelajari Taurat dan memelihara tradisi Yahudi ini tetap dibawa ke tanah air mereka dan sinagoge lokal pun mulai didirikan di tempat-tempat dimana mereka tinggal (meskipun Bait Suci sudah dibangun kembali). Itu sebabnya pada jaman Tuhan Yesus dan rasul-rasul kita menjumpai banyak sinagoge di kota-kota di Israel, yang dipimpin oleh seorang yang disebut "kepala rumah ibadah". {Lu 13:14 Ac 13:5 14:1 Mr 5:22 Lu 13:14 Ac 13:5 14:1}

  3. SEKOLAH-SEKOLAH MENAFSIR YAHUDI. Melihat pentingnya mempelajari kitab-kitab, maka dalam perkembangan selanjutnya, (setelah Ezra dan Nehemia mati), bermunculanlah sekolah-sekolah menafsir formal, diantaranya:

    1. Sekolah Yahudi Palestina. Sekolah ini mengikuti tradisi yang dipakai oleh Ezra dalam menafsir kitab-kitab Taurat, yaitu menekankan metode penafsiran literal. Mereka menerima otoritas mutlak Firman Allah, dan tujuan utama mereka adalah menginterpretasikan Hukum-Hukum Taurat. Hasil penafsiran mereka ini kemudian bercampur dengan tradisi-tradisi yang berlaku pada jaman itu, sehingga tulisan ini dikemudian hari dikenal dengan nama "Tradisi Lisan" (the Oral Law). Tetapi sayang sekali bahwa tradisi lisan ini akhirnya diberikan otoritas yang sejajar yang dengan tulisan Kitab-kitab Taurat.

      Pada abad 2 Masehi dikumpulkanlah seluruh Tradisi Lisan yang pernah ditulis yang disebut "Mishna" yang artinya "doktrin lisan dan pengajarannya". Dalam Mishna ini terdapat dua macam tafsiran:

      1. Halakah
        Penafsiran (eksegesis) resmi terhadap hukum-hukum dalam kitab-kitab Taurat yang bersifat sangat legalistik, dengan memperhatikan sampai ke titik dan komanya.
      2. Hagadah
        Penafsiran seluruh Alkitab PL, tetapi yang tidak berhubungan langsung dengan hukum, yang tujuannya adalah untuk kesalehan kehidupan beragama. Perkembangan selanjutnya adalah para ahli kitab membuat buku tafsiran dari buku Mishna, yang disebut Gemara. Kedua buku Mishna dan Gemara, inilah yang akhirnya membentuk buku (kitab) Talmud.

    2. Sekolah Yahudi Aleksandria. Didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi yang sudah tercampur dengan budaya dan pikiran Yunani (kaum Hellenis). Kerinduan mereka yang paling utama adalah menterjemahkan kitab-kitab PL ke dalam bahasa Yunani Modern, sebagai hasilnya adalah buku (kitab) Septuaginta. Penambahan kitab-kitab Apokrifa dalam Septuaginta menunjukkan bahwa mereka menerima penafsiran Hagadah dari sekolah Yahudi Palestina.

      Namun sayang sekali, karena pengaruh yang besar dari filsafat Yunani, orang Yahudi mengalami kesulitan dalam menerapkan cara hidup sesuai dengan pengajaran Taurat. Sebagai jalan keluar muncullah cara interpretasi alegoris yang dipakai untuk menjembatani kedua cara hidup yang bertentangan itu.

      Aristobulus (160 SM) dikenal sebagai penulis Yahudi yang pertama menggunakan metode alegoris. Ia menyimpulkan bahwa filsafat Yunani dapat ditemukan dalam kitab-kitab Taurat melalui penafsiran alegoris.

      Philo (20-54 M) adalah penafsir Yahudi di Aleksandria yang paling terkenal. Menurut prinsip menafsir yang dipakai oleh Philo, penafsiran literal adalah untuk orang-orang yang belum dewasa karena hanya melihat sebatas huruf-huruf yang kelihatan (tubuh); sedangkan penafsiran alegoris adalah untuk mereka yang sudah dewasa, karena sanggup melihat arti yang tersembunyi dari jiwa yang paling dalam (jiwa).

    3. Sekolah Kaum Karait. Kelompok dari sebuah sekte Yahudi ini menolak otoritas buku-buku tradisi lisan dan juga metode penafsiran Hagadah. Mereka lebih cenderung mengikuti metode penafsiran literal, kecuali bila sifat dari kalimatnya tidak memungkinkan. Sebagai akibatnya mereka menolak dengan tegas metode penafsiran alegoris.

      Selain sekolah-sekolah di atas, ada juga sekolah-sekolah lain yang kurang dikenal, yaitu Kabalis, Yahudi Spanyol, Yahudi Perancis, Yahudi Modern.

B. Hermeneutik Apostolik

Mencakup masa periode ketika Yesus masih hidup sampai jaman rasul-rasul. Metode yang dipakai adalah metode penafsiran literal. Dengan inspirasi dari Roh Kudus, para penulis Perjanjian Baru telah menafsirkan Perjanjian Lama dengan tanpa salah dalam tulisan-tulisan mereka.

  1. YESUS KRISTUS, PENAFSIR SEMPURNA. Dalam pengajaran kepada murid-muridNya Yesus banyak memberikan penafsiran kitab-kitab PL. {Lu 24:27,44 Joh 5:39 Lu 24:27,44} Dengan cara demikian Yesus telah membuka pikiran murid-muridNya untuk mengerti Firman Tuhan dengan benar. Ia sendiri adalah Firman yang menjadi Manusia (incarnasi), yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara pikiran Allah dan pikiran manusia. Banyak catatan tentang teguran Yesus terhadap penafsiran para ahli Taurat (mis: Mar 7:1-7 Mat 23:1-33 Mat 22:29 Mat 15:1-9; Mar 7:1-7 Mat 23:1-33 Mat 22:29). Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus: 12:1-4,15-21 13:1-9 18:23 19:3-9 21:42-44 22:41-46 24:36-39 Lu 11:29,30 21:20-24 24:27-44 Mt 10:5,6 12:1-4,15-21 13:1-9 18:23 19:3-9 21:42-44 22:41-46 24:36-39 Lu 11:29,30 21:20-24 24:27-44.

  2. PARA RASUL, PENULIS-PENULIS YANG MENDAPATKAN INSPIRASI DARI ALLAH. Mereka adalah contoh penulis-penulis Alkitab PB yang menafsirkan kitab-kitab PL dengan inspirasi yang Allah berikan kepada mereka tanpa salah. Mereka menolak prinsip-prinsip alegoris, atau tambahan-tambahan dari tradisi-tradisi dan dongeng-dongeng Yahudi dan mereka juga menolak filsafat Yunani yang mengambil alih kebenaran. Yesus dan para penulis kitab-kitab PB telah menggunakan cara interpretasi yang benar. Ini menjadi contoh yang sangat berguna bagi para penafsir untuk belajar menafsir dengan benar. Contoh prinsip penafsiran yang dilakukan oleh penulis-penulis PB: 9:6-13 Ga 3:1-29; 4:21-31 1Co 9:9-12 10:1-11 Heb 6:20-7:21 8-8-12 10:1-14,37-11:40; 1Pe 2:4-10; 2Pe 3:1-13 Ro 3:1-23 9:6-13 Ga 3:1-29; 4:21-31 1Co 9:9-12 10:1-11 Heb 6:20-7:21 8-8-12 10:1-14,37-11:40; 1Pe 2:4-10; 2Pe 3:1-13.

C. Hermeneutik Bapak-bapak Gereja

Masa periode ini adalah sesudah para rasul mati sampai masa Abad Pertengahan (95-600 M). Pembagian masa-masanya adalah sbb.:

  1. 95 - 202 M (CLEMENT DARI ROMA SAMPAI IRENAEUS). Tidak ada banyak catatan penting mengenai perkembangan metode penafsiran Alkitab pada masa itu. Kemungkinan besar para Bapak-bapak gereja terlalu sibuk mempertahanan doktrin Kristologi dari ajaran-ajaran sesat yang banyak bermunculan saat itu sehingga tidak banyak menekankan tentang prinsip penafsiran yang sehat. Sebagai akibatnya beberapa dari mereka jatuh pada penggunaan metode alegoris dalam penafsiran mereka, seperti Barnabas dan Justin Martyr.

  2. 202 - 325 M (SEKOLAH ALEKSANDRIA). Pada permulaan abad 3, penafsiran Alkitab banyak dipengaruhi oleh Sekolah Aleksandria. Aleksandria adalah sebuah kota besar tempat pertemuan antara agama Yudaisme dan filsafat Yunani. Usaha mempertemukan keduanya memaksa orang-orang Yahudi menggunakan metode interpretasi alegoris, suatu sistem penafsiran yang sudah sangat dikenal sebelumnya. Ketika kekristenan tersebar di Aleksandria, hal inipun menjadi pengaruh yang tidak mungkin dihindari. Gereja Kristen di Aleksandria lebih tertarik menggunakan penafsiran alegoris karena seakan-akan memberikan arti yang lebih dalam dari pada arti harafiah.

    Bapak Gereja yang paling berpengaruh saat itu adalah Clement dari Aleksandria dan Origen. Tetapi meskipun mengakui penafsiran literal, mereka memberikan bobot yang kuat dalam penafsiran alegoris.

    Origen adalah pengganti Clement dari Aleksandria. Ia bukan hanya menjadi teolog besar tapi juga ahli kritik Alkitab besar pada jamannya. Dalam memakai metode penafsirannya ia percaya bahwa Alkitab memberikan 3 arti, sama halnya manusia dibagi menjadi 3 aspek, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Maka Alkitab juga mempunyai arti literal, moral dan mistik (alegoris). Namun demikian dalam kenyataannya Origen paling sering memakai metode alegoris dari pada literal.

  3. 325 - 600 M (SEKOLAH ANTIOKIA). Pengaruh besar dari Sekolah Antiokia ini adalah perlawanannya terhadap Sekolah Aleksandria khususnya dalam eksegesis alegorisnya. Prinsip penafsiran mereka dapat diringkaskan sbb.: ilmiah, menggunakan prinsip literal dan tinjauan sejarah, sebagai ganti alegoris mereka memakai metode tipologi.

    Tokoh-tokoh Sekolah Antiokia adalah: Diodorus dari Tarsus, Theodore dari Mopsuestia dan Chrysostom. Mereka semua menolak prinsip alegoris dalam penafsiran Alkitab, tapi menerima prinsip literal dengan tinjauan tata bahasa dan sejarah.

    Selama abad 4 Dan 5, perdebatan teologia berlanjut menjadi perpecahan gereja, menjadi Gereja Bagian Timur dan Gereja Bagian Barat.

    1. Gereja Bagian Timur
      Tokoh mereka adalah Athanasius dari Aleksandria (literal, tapi juga alegoris), Basil dari Caeserea (literal), Theodoret dan Andreas dari Capadocia (literal dan historis).

    2. Gereja Bagian Barat
      Tokoh mereka adalah Tertulian (literal, tetapi nubuatan ditafsirkan secara alegoris), Ambrose (alegoris ektrim), Jerome (sumbangannya terbesar adalah menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Latin yang disebut Vulgate. Secara teori ia mengikuti penafsiran literal, tapi dalam praktek adalah alegoris, karena menurutnya tidak ada kontradiksi antara literal dan alegoris), Augustinus (Teolog terbesar pada jamannya. Ia tidak menolak penafsiran alegoris tetapi ia memberikan sedikit modifikasi, dan dikhususkan bagi nubuatan. Menurutnya Alkitab harus ditafsirkan secara historis, mengikuti tata bahasa, diperbandingkan dan kalau perlu memakai alegoris. Tetapi penekanan yang utama adalah bahwa untuk memahami Alkitab seseorang harus mempunyai iman Kristen yang murni dan penuh kasih. Dan dalam menafsirkan ayat/perikop harus melihat keseluruhan kebenaran yang diajarkan Alkitab. Tugas penafsir adalah menemukan kebenaran Alkitab bukan memberi arti kepada Alkitab), Vincentius (tafsiran harus disesuaikan dengan tradisi gereja).

D. Hermeneutik Abad Pertengahan

Masa periode tahun 600 - 1517 disebut sebagai Hermeneutik Abad Pertengahan, yang diakhiri sebelum masa Reformasi. Masa ini dikenal sebagai abad gelap karena tidak banyak pembaharuan yang terjadi, hanya melanjutkan tradisi yang sudah dipegang erat oleh gereja. Semua penafsiran disinkronkan dengan tradisi gereja. Pengajaran dan hasil eksposisi Bapak-bapak Gereja menjadi otoritas gereja. Alkitab hanya dipergunakan sebagai pengesahan akan apa yang dikatakan oleh para Bapak gereja, bahkan penafsiran para Bapak gereja kadang mempunyai otoritas yang lebih tinggi daripada Alkitab.

Alkitab lama kelamaan dianggap sebagai benda misterius yang banyak berisi pengajaran-pengajaran yang tahayul. Itu sebabnya cara penafsiran alegoris menjadi paling dominan.

Dua tokoh penafsir literal yang dikenal pada masa ini adalah:

  1. THOMAS AQUINAS. Meskipun ia menyetujui penafsiran literal, dalam praktek ia banyak menggunakan penafsiran alegoris. Dalam masalah teologia ia percaya bahwa Alkitab memegang otoritas tertinggi.

  2. JOHN WYCLIFFE. Ia sering disebut sebagai "Bintang Fajar Reformasi" karena kegigihannya menyerang pendapat bahwa otoritas gereja tidak lebih tinggi daripada otoritas Alkitab. Karena keyakinannya itulah ia terdorong untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang dikenal umum, sehingga setiap orang bisa membaca dan menyelidiki sendiri pengajaran Alkitab.

    Menjelang berakhirnya Abad pertengahan terjadi kebangunan dalam minat belajar, khususnya belajar bahasa kuno. Didukung dengan ditemukannya mesin cetak kertas, dan dicetaknya Alkitab, maka kepercayaan tahayul terhadap Alkitab perlahan-lahan lenyap dan mereka mulai mempercayai bahwa otoritas Alkitab lebih tinggi dari pada otoritas gereja. Inilah yang membuka jalan untuk lahirnya Reformasi.

E. Hermeneutik Reformasi

Periode ini terjadi pada tahun 1517 - 1600 M, dimulai pada saat Martin Luther memakukan 95 tesisnya dan berakhir sampai abad 16.

  1. PERJUANGAN REFORMASI. Dengan bangkitnya periode intelektual dan pencerahan rohani, perang memperjuangkan "sola scriptura" (hanya Alkitab) merupakan fokus Reformasi. Secara umum isi perjuangan Reformasi adalah sbb.:

    1. Alkitab adalah Firman Allah yang diinspirasikan oleh Allah sendiri.
    2. Alkitab harus dipelajari dalam bahasa aslinya.
    3. Alkitab adalah satu-satunya otoritas yang tanpa salah; sedangkan gereja dapat salah.
    4. Alkitab adalah otoritas tertinggi dalam semua masalah iman Kristen.
    5. Gereja harus tunduk pada otoritas kebenaran Alkitab.
    6. Alkitab harus diinterpretasikan/ditafsirkan oleh Alkitab.
    7. Semua pemahaman dan ekposisi Alkitab harus tidak bertentangan dengan seluruh kebenaran Alkitab.

  2. TOKOH REFORMASI.

    1. Martin Luther. 95 tesisnya merupakan serangan yang dilancarkan terhadap otoritas gereja. Martin percaya penuh bahwa Alkitab harus menjadi otoritas tertinggi bagi iman dan kehidupan orang percaya. Untuk itulah ia menterjemahkan Alkitab PB ke dalam bahasa German supaya rakyat biasa dapat membaca dan menyelidikinya.

      Prinsip penafsiran Martin Luther:

      1. Untuk menafsir dengan benar harus ada penerangan dari Roh Kudus.
      2. Alkitab adalah otoritas tertinggi bukan gereja.
      3. Penafsir harus memberi perhatian pada tata bahasa dan latar belakang sejarah. Penafsiran alegoris tidak berlaku.
      4. Alkitab adalah jelas sehingga orang percaya pasti dapat menafsirkannya.
      5. Fungsi menafsir Alkitab adalah sentralitas dalam Kristus.
      6. Hukum Taurat menghukum (mengikat), tetapi Injil membebaskan.

    2. John Calvin. Diakui sebagai tokoh penafsir ilmiah pertama dalam sejarah Gereja. Ia menentang penafsiran alegoris, tetapi menerima tipologi dalam PL. Tetapi tidak seperti Luther, Calvin tidak memaksakan pada penafsiran yang berpusatkan pada Kristus.

      Prinsip penafsiran John Calvin:

      1. Roh Kudus adalah vital dalam pekerjaan penafsiran.
      2. Alkitab akan menafsirkan Alkitab.
      3. Penafsiran harus literal; penafsir harus menemukan apa yang ingin disampaikan oleh penulis Alkitab, melihat pada konteks, meneliti latar belakang sejarah, melakukan studi kata dan memeriksa tata bahasa.
      4. Menolak penafsiran alegoris.
      5. Menolak otoritas gereja dalam menginterpretasikan Alkitab.
      6. Teologia yang benar harus dihasilkan dari eksegesis yang sehat.

    Setelah kematian Calvin, para teolog Protestant bergumul keras untuk merumuskan kredo doktrin iman Kristen dan mensistematiskan teologianya. Tapi perdebatan dalam masalah penafsiran terus berlangsung sampai pada masa berikutnya.

F. Hermeneutik Paska-Reformasi

Periode ini adalah antara tahun 1600 - 1800 M. Periode ini dipenuhi dengan semangat penafsiran literal Reformasi, tetapi akhir periode ini ditutup dengan penekanan pada metode penafsiran devotional.

  1. SESUDAH REFORMASI. Terjadi banyak kontroversi dan perdebatan teologia yang akhirnya menjadi kepahitan di antara para teolog dan mulai terjadi perpecahan. Dogmatisme mulai meracuni gereja. Studi Alkitab akhirnya hanya dipakai untuk membenarkan dogma dan teologia mereka sendiri.

  2. GERAKAN PEITISME. Gerakan ini muncul sebagai reaksi Dogmatisme paska Reformasi, karena Alkitab telah disalah gunakan sebagai pedang yang melukai dan merusak kemurnian hidup rohani. Oleh karena itu mereka melakukan pendekatan yang berbeda, yaitu mempelajari Alkitab dan menafsirkannya secara pribadi untuk tujuan memperkaya aplikasi kehidupan rohani. Meskipun motivasi ini baik, tetapi berakibat negatif karena membuat tujuan penafsiran bukan lagi untuk mengetahui apa yang Allah ingin kita ketahui, tapi hanya untuk mempererat hubungan pribadi dengan Allah. Sebagai hasilnya muncullah kelompok-kelompok seperti Moravian, Puritan dan Quaker. Tokoh-tokoh gerakan Pietisme ini adalah:

    1. Philipp Jakob Spener - Bapak Pietisme. Ia percaya bahwa kemurnian hati lebih berharga daripada kemurnian doktrin. Ia mendorong setiap orang percaya untuk mempelajari sendiri Firman Allah dan mengaplikasikan kebenarannya dalam kehidupan praktis.

    2. August Hermann Francke. Sebagai murid Spener, ia juga mengikuti prinsip-prinsip Pietisme. Menurutnya hanya orang Kristen lahir baru yang dapat mengerti arti berita Alkitab. Ia juga mengkombinasikan antara eksegesis dengan pengalaman. Tetapi segi negatif dari gerakan ini muncul yaitu menjadi tindakan legalistik terhadap mereka yang bukan anggota Pietisme dan mengabaikan teologia.

  3. KRITISISME. Melihat kelemahan Pietisme dengan metode devotional, banyak teolog mulai melakukan pendekatan skolastis studi Alkitab. Banyak usaha dilakukan dalam bidang kritik teks. Naskah-naskah Alkitab mulai dievaluasi dan diteliti untuk pertama kalinya untuk mengetahui keabsahannya sebagai kitab Kanon. Tokoh yang terkenal adalah Johann August Ernesti.

  4. RASIONALISME. Dari Kritisisme para teolog melanjutkan lebih jauh sampai melampaui batas yang seharusnya, yaitu mereka menempatkan rasio manusia sebagai otoritas yang lebih tinggi dari Alkitab. Rasio manusia, tanpa campur tangan Allah, dianggap cukup untuk mengetahui Penyataan Allah. Apabila ada hal yang tidak dapat dimengerti oleh intelek manusia, maka harus dibuang. Sebagai akibatnya mereka berpendapat bahwa Alkitab bisa salah karena ditulis oleh manusia. Mereka memperlakukan Alkitab tidak jauh berbeda seperti buku-buku yang lain. Dua tokoh terkenal Rasionalisme adalah Hobbes, Spinoza dan Semler.

G. Hermeneutik Modern

Masa periode ini adalah tahun 1800 - sekarang. Semua metode penafsiran yang pernah dilakukan masih terus dilakukan hingga sekarang. Walaupun dari waktu ke waktu penekanan terus bergeser dari satu ekstrim kepada ekstrim yang lain. Dalam era modern ini serangan yang paling tajam akhirnya ditujukan pada otoritas Alkitab, sebagai fondasi dalam menafsir. Sebagai contohnya:

  1. LIBERALISME. Rasionalisme telah membuka era modern untuk lahirnya Liberalisme. Secara umum diringkaskan pendekatan mereka adalah:

    1. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh rasio harus ditolak.
    2. Inspirasi didefinisikan ulang, yaitu merupakan tulisan hasil pengalaman religius manusia (penulis Alkitab).
    3. Supranatural diartikan sebagai alam pikiran abstrak manusia.
    4. Sesuai dengan pikiran evolusi, maka Alkitab adalah tulisan primitif kalau dibandingkan dengan pikiran teologis modern.
    5. Menjunjung tinggi nilai etika, tapi menolak tafsiran teologianya.
    6. Alkitab harus ditafsirkan secara historis, sebagai konsep teologis dari penulis Alkitab sendiri.

  2. NEO ORTODOKS. Karl Barth tidak mau disebut sebagai penganut Liberalisme, ia tetap ingin mencari kembali inti-inti Teologia Reformasi. Dalam pendekatannya Karl Barth menolak baik inspirasi maupun ketidakbersalahan Alkitab karena menurut Barth, Penyataan/Firman Allah baru akan terjadi apabila ada pertemuan antara Allah dan manusia dalam Alkitab. Alkitab sendiri bukanlah Firman Tuhan tetapi hanya saksi akan Firman Tuhan. Oleh karena itu penafsiran Alkitab merupakan pekerjaan sia-sia kalau bukan Allah sendiri yang bertemu dengan manusia.

  3. KONSERVATISME/INJILI. Gerakan Konservatisme merupakan reaksi untuk melawan pikiran-pikiran modern. Beberapa pendekatan mereka pada Alkitab adalah antara lain:

    1. Rasio harus ditaklukkan di bawah otoritas Alkitab, karena rasio tidak cukup untuk menginterpretasi Alkitab. Oleh karena itu Roh Kudus adalah vital untuk memberikan penerangan supaya kita mengerti.

    2. Pendekatan penafsiran literal, karena percaya pada ketidakbersalahan Alkitab.

    3. Percaya pada Penyataan yang progresif, tetapi kebenaran tidaklah dibatasi oleh waktu sehingga berlaku di sepanjang jaman.

  4. HERMENEUTIK BARU. Tokohnya adalah Rudolf Bultman. Prinsip yang dipakai untuk menafsir adalah kita harus membaca sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan, karena manusia tidak boleh mengabaikan inteleknya. Otoritas Alkitab tidak diterima sepenuhnya. Mereka bahkan meragukan apakah apa yang Alkitab katakan itu sama dengan apa yang dituliskan. Tujuan utama Hermeneutik Baru adalah mencoba menghindarkan diri dari kelemahan yang dimiliki Liberalisme.

C. Aliran-aliran Hermeneutik

Telah kita pelajari sebelumnya bahwa sejak permulaan berdirinya sinagoge sampai gereja, bahkan sampai saat ini terdapat berbagai metode untuk melakukan penyelidikan/penafsiran Alkitab. Metode penafsiran dari kelompok-kelompok tertentu mengikuti aliran tertentu. Diantara aliran-aliran yang timbul dan berkembang tsb. akhirnya dapat digolong-golongkan sbb.:

  1. METODE ALEGORIS. Metode Alegoris berangkat dari suatu asumsi bahwa dibalik arti harafiah yang sudah biasa dan jelas itu terdapat arti sesungguhnya (kedua) yang lebih dalam yang perlu ditemukan oleh orang Kristen yang lebih dewasa. Dalam menafsirkan perikop Alkitab mereka membandingkan masing-masing fakta/informasi yang sudah jelas untuk membuka kebenaran rohani tersembunyi dibalik pengertian literalnya.

    Metode Alegoris tidak hanya populer di gereja-gereja purba, karena dalam gereja modern sekarangpun masih banyak ditemukan cara penafsiran Alkitab seperti ini. Mereka sering berpendapat bahwa apa yang Allah katakan melalui penulis-penulis Alkitab bukanlah arti yang sesungguhnya. Bahaya dari metode ini adalah tidak adanya batasan dan aturan secara Alkitabiah untuk memeriksa kebenaran beritanya. Bahkan tujuan dan maksud penulisanpun akhirnya diabaikan sama sekali.

  2. METODE MISTIS. Banyak ahli tafsir Alkitab menggolongkan metode penafsiran Mistis sama dengan metode penafsiran Alegoris, karena memang sangat mirip. Penganut metode ini biasanya bercaya bahwa ada arti rohani dibalik semua arti harafiah yang kelihatan. Dan mereka memberikan botot yang lebih berat kepada hasil penafsiran mistis daripada arti yang sudah biasa.

    Bahaya dari cara penafsiran ini terletak pada keragaman dan ketidak-konsistenan hasil penafsiran mereka, sehingga tidak terkontrol banyaknya ragam hasil penafsiran mereka yang sering kali justru memecah belah jemaat. Hal ni juga memberikan kesulitan dalam mempertanggung jawabkan doktrin kejelasan (clarity) Alkitab, dan justru sebaliknya mereka membuat Alkitab tidak jelas dan Allah seakan-akan bermain tebak-tabakan dengan penafsir untuk menemukan arti rohani dari setiap ayat. Dan bahaya yang paling besar adalah penafsir menjadi otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran penafsirannya.

  3. METODE PERENUNGAN (Devotional). Tujuan metode penafsiran ini adalah hanya pada pengaplikasiannya saja sehingga penganut metode ini menafsirkan Alkitab dalam konteks pengalaman hidup mereka sehari-hari. Mereka percaya bahwa Alkitab ditulis memang untuk tujuan pengkudusan pribadi semata-mata oleh karena itu arti rohani ayat-ayat tsb. hanya akan dapat ditemukan dari terang pergumulan rohani pribadi. Oleh karena itu yang paling penting dalam mengerti Alkitab adalah apa yang Tuhan katakan kepada saya pribadi.

    Bahaya dari metode penafsiran ini adalah menjadikan Firman Tuhan menjadi pusat aplikasi pribadi saja dan mengabaikan memahami karya Tuhan dan campur tangan Tuhan dalam sejarah. Kelemahan yang lain dari metode ini adalah akhirnya jatuh pada kesalahan yang sama dengan metode Alegoris dan Mistis, karena mereka akhirnya mengalegoriskan dan merohanikan Firman Tuhan untuk bisa sesuai dengan kebutuhan pribadi.

  4. METODE RASIONAL. Metode Rasional sangat digemari pada masa sesudah Reformasi, namun demikian dampaknya masih terasa sampai jaman modern ini dalam berbagai macam bentuk penafsiran yang pada dasarnya bersumber pada metode Rasional. Penganut metode Rasional berasumsi bahwa Alkitab bukanlah otoritas tertinggi yang harus menjadi panutan. Alkitab ditulis oleh manusia maka berarti merupakan hasil karya rasio manusia. Oleh karena itu kalau ada bagian-bagian Alkitab yang tidak dapat diterima oleh rasio manusia maka bisa dikatakan bahwa bagian Alkitab tsb. hanyalah mitos saja.

    Meskipun metode ini disebut sebagai "rasional" dalam kenyataan metode penafsiran ini adalah metode yang paling tidak rasional. Jelas bahwa penganut metode ini sebenarnya tidak tertarik untuk mengetahui apa yang dikatakan oleh para penulis Alkitab, sebaliknya mereka hanya memperhatikan pada apa yang mereka pikir penulis Alkitab katakan. Rasio mereka pakai menjadi standard kebenaran yang lebih tinggi dari Firman Tuhan (Alkitab). Mereka menafsirkan Alkitab hanya untuk mencari aplikasi bagi standard moral mereka saja.

  5. METODE LITERAL (HARAFIAH). Metode Literal adalah metode penafsiran Alkitab yang paling tua, karena metode inilah yang dipakai pertama kali oleh Bapak Hermeneutik Ezra. Metode ini juga yang dipakai oleh Tuhan Yesus dan pada rasul. Metode penafsiran Literal berasumsi bahwa kata-kata yang dipakai dalam Alkitab adalah kata-kata yang memiliki arti seperti yang diterima oleh manusia normal pada umumnya, yang memiliki arti yang yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan oleh akal sehat manusia. Tujuan Allah memberikan FirmanNya adalah supaya dimengerti oleh manusia oleh karena itu Allah memakai bahasa dan hukum-hukum komunikasi manusia untuk menafsirkan arti dan maksudnya.

    Yang dimaksud dengan "literal" (harafiah) adalah arti yang biasa yang diterima secara sosial dan adat istiadat setempat dalam konteks dimana penulis Alkitab itu hidup. Oleh karena itu apabila arti ayat-ayat Alkitab tidak jelas maka penafsir harus kembali melihat konteks bahasa dan budaya (sejarah) dimana penulis itu hidup dan penafsir harus menafsirkan ayat-ayat itu sesuai dengan terang dan pertimbangan konteks bahasa dan budaya (sejarah) itu.

    Hal-hal yang perlu dipahami dalam menggunakan metode Literal:

    1. Metode Literal tidak berarti tidak mengakui adanya arti figuratif dari ayat-ayat tertentu dalam Alkitab.
    2. Metode Literal tidak berarti tidak mengakui adanya ari rohani dari ayat-ayat tertentu dalam Alkitab.
    3. Metode Literal tidak berarti mengabaikan tujuan aplikasi pribadi dalam penafsiran.
    4. Metode Literal tidak berarti tidak mengakui adanya arti yang dalam yang harus ditemukan dalam penafsiran.

Sumber Bacaan:

  1. Hasan Sutanto, Hermeneutik; Prinsip dan Metode - (Hal. 29-111)
  2. John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab – (Hal. 18-24)
  3. Kevin J. Conner, Interpreting the Scripture - (Hal. 17-41)
  4. Louis Berkhof, Principles of Biblical Interpretation - (Hal. 19-31)
  5. Kevin J. Conner, Interpreting the Scripture - (Hal. 13-16)